Sistem Komputer 2kb01

Mengelola Resiko Operasional

Nama : Okto Prasetiyo I.
Npm : 25110268
Kelas : ²Kbo1

Prinsip-prinsip yang harus dijalankan supaya suatu organisasi dapat berjalan sesuai dengan prosedur operasional yang berlaku dan meminimasi resiko operasional dan resiko-resiko yang lain adalah seperti yang dijelaskan sbb:

· Prinsip 1

Board of director, sebagai pimpinan tertinggi organisasi harus menyadari aspek utama risiko operasional bank yang harus dikelola, dan harus menyetujui dan mereview secara periodik kerangka manajemen risiko operasional bank. Kerangka harus memberi definisi risiko operasional menyeluruh pada perusahaan dan menentukan standar untuk mengidentifikasi, menilai, memonitor, dan mengendalikan (control/mitigate) risiko operasional. Di sini dewan harus harus menyetujui implementasi kerangka kerja keseluruhan yang secara jelas mengelola risiko operasional sebagai suatu risiko tersendiri untuk kesehatan dan kekuatan bank. Dewan harus menyediakan tuntunan yang jelas bagi manajer senior dan arahan yang menyangkut prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja tersebut dan menyetujui kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang dikembangkan oleh manajer senior.Kerangka kerja harus mencakup selera dan toleransi risiko operasional buat bank, seperti yang dinyatakan dalam kebijakan mengenai manajemen risiko dan prioritas bank terhadap aktivitas-aktivitas manajemen risiko operasional, termasuk tingkatan, dan tindakan dimana risiko operasional dialihkan kepihak lain diluar bank. Harus juga termasuk kebijakan yang secara garis besar pendekatan bank untuk melakukan identifikasi, menilai, monitor dan kontrol/mitigasi risiko. Tingkatan kesulitan dan kecanggihan dari kerangka kerja manajemen risiko operasional bank harus selaras dengan profil risiko bank. Karena aspek yang penting dalam mengelola risiko operasional berhubungan dengan kekuatan pengendalian intern, oleh karenanya sangat penting bagi Dewan menetapkan kejelasan lini tanggung jawab manajemen, akuntabilitas, dan pelaporan. Harus ada pemisahan tanggung jawab dan lini pelaporan antara fungsi kontrol risiko operasional, lini bisnis dan fungsi pendukung untuk menghindari benturan kepentingan. Kerangka kerja harus juga menyatakan proses kunci yang dibutuhkan perusahaan yang harus ada untuk mengelola risiko operasional.

· Prinsip 2

Board of directors, sebagai pimpinan tertinggi organisasi harus memastikan bahwa ada audit reguler terhadap kerangka manajemen risiko operasional yang dilakukan oleh tim internal yang independen dan kompeten (yaitu independen dari tim risiko operasional – biasanya fungsi internal audit). Bank harus memiliki cakupan internal audit yang memadai untuk verifikasi kebijakan dan prosedur operasi telah diimplementasikan secara efektif. Dewan (baik langsung atau tidak langsung melalui komite auditnya) harus memastikan bahwa cakupan dan frekwensi program audit telah sesuai dengan eksposur risiko. Audit harus secara berkala memvalidasi kerangka kerja manajemen risiko operasional perusahaan telah diimplementasikan secara eketif di seluruh bagian dalam perusahaan.Walaupun fungsi audit terlibat dalam pengawasan kerangka kerja manajemen risiko operasional, Dewan harus memastikan independensi audit tetap terjaga. Independensi ini mungkin akan ternodai jika fungsi audit terlibat langsung dalam proses manajemen risiko operasional. Fungsi audit mungkin akan menyediakan masukan yang bernilai untuk mereka yang bertanggung jawab pada manajemen risiko operasional, tetapi tidak boleh memiliki tanggung jawab manajemen risiko operasional secara langsung. Dalam praktiknya, Komite menyadari fungsi audit pada beberapa bank (khususnya bank yang lebih kecil) mungkin akan memiliki tanggung jawab awal untuk mengembangkan program manajemen risiko operasional. Jika hal itu terjadi, bank harus menyadari bahwa tanggung jawab sehari-hari dalam mengelola risiko operasional akan dialihkan kepihak lain dalam waktu yang tepat.

· Prinsip 3

Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk implementasi kerangka manajemen risiko operasional yang disetujui oleh board of director. Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk pengembangan kebijakan, proses dan prosedur untuk mengelola risiko operasional pada bank. Manajemen harus menerjemahkan kerangka kerja manajemen risiko operasional yang dikembangkan oleh Dewan Direksi dalam kebijakan, proses dan prosedur yang spesifik yang dapat diimplementasikan dan diverifikasi dalam unit bisnis yang berbeda. Sementara level manajemen masing-masing bertanggung jawab untuk kesesuaian dan keefektifan kebijakan, proses, prosedur dan kontrol dalam cakupannya, senior manajemen harus secara jelas memberikan otoritas, tanggung jawab dan hubungan pelaporan untuk memajukan dan memelihara akuntabilitas, dan memastikan bahwa sumber daya yang diperlukan telah tersedia untuk mengelola risiko operasional secara efektif.Lebih lagi, manajemen senior harus menilai kesesuaian proses pengawasan manajemen yang sesuai dengan risiko yang terkandung dalam kebijakan bisnis unit. Manajemen senior harus memastikan bahwa aktivitas bank telah dilakukan oleh staff yang kompeten dengan pengalaman yang memadai, kemampuan teknis dan akses kepada sumber daya.Manajemen senior harus memastikan bahwa staff yang bertanggung jawab untuk mengelola risiko operasional berkomunikasi secara efektif dengan staff yang bertanggung jawab mengelola risiko kredit, pasar dan lainnya, juga dengan mereka yang dalam perusahaan bertanggung jawab untuk mengadakan layanan eksternal seperti pembelian asuransi dan perjanjian-perjanjian dengan outsourcing. Kealpaan melakukan hal itu akan mengakibatkan kesenjangan yang besar atau tumpang tindih dalam program manajemen risiko keseluruhan.Manajemen senior harus memastikan bahwa kebijakan penggajian telah konsisten dengan selera risiko. Kebijakan penggajian yang justru memberi penghargaan kepada staff yang menyimpang dari kebijakan (contohnya melampaui limit yang telah ditetapkan) akan melemahkan proses manajemen risiko bank. Perhatian khusus juga harus diberikan pada kualitas kontrol dokumentasi dan praktik penanganan transaksi. Kebijakan, proses dan prosedur yang berhubungan dengan teknologi maju yang mendukung transaksi dalam jumlah yang besar, khususnya, harus didokumentasikan dan disebarluaskan kepada orang yang relevan.

· Prinsip 4

Identifikasi dan menilai risiko operasional yang terkandung di dalam semua produk, aktivitas, proses dan sistem. Identifikasi risiko adalah kaki bukit dari pengembangan berkelanjutan monitor dan sistem kontrol risiko operasional yang bisa dilakukan. Identifikasi risiko yang efektif mempertimbangkan faktor internal (seperti struktur bank, karakteristik aktivitas bank, kualitas SDM bank, perubahan organisasi, perputaran staf) dan faktor eksternal (seperti perubahan dalam industri dan kemajuan teknologi) yang dapat mempengaruhi secara buruk pencapaian tujuan bank. Sebagai tambahan, untuk melakukan identifikasi potensi risiko terburuk, bank harus menilai kerapuhan pada risiko-risiko ini. Penilaian risiko yang efektif membuat bank menyadari dengan lebih baik profil risikonya dan secara sangat efektif sumber daya-sumber daya tujuan manajemen risiko. Berbagai perangkat yang mungkin digunakan untuk melakukan identifikasi dan penilaian risiko operasional, antara lain:
Saat ini bank dinilai lemah di dalam menjalankan aktivitas operasionalnya sehingga memiliki potensial resiko operasional yang cukup besar. Oleh karena itu dibutuhkan Self – or Risk Assesment untuk membantu melakukan pengendalian terhadap resiko oeprasional. Proses ini digerakkan dari internal dan seringkali dalam bentuk checklist (daftar pertanyaan) dan/atau lokakarya (workshop) untuk melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan lingkungan risiko operasional. Scorecards, sebagai contoh, menyediakan cara menerjemahkan penilaian kualitatif menjadi metric kuantitatif yang memberikan peringkat berbagai tipe eksposur risiko operasional. Nilai tertentu mungkin berhubungan dengan risiko yang hanya ada pada lini bisnis tertentu sementara lainnya mungkin memeringkat risiko yang ada pada beberapa lini bisnis. Nilai mungkin menunjukkan risiko inheren, juga kontrol-kontrol untuk mitigasinya. Sebagai tambahan, Scorecards mungkin digunakan oleh bank untuk mengalokasikan modal ekonomis (economic capital) pada berbagai lini bisnis dalam hubungan dengan kinerja dalam pengelolaan dan kontrol berbagai aspek risiko operasional.Selain itu sebagai langkah untuk mengendalikan resiko operasional adalah dengan Operasional Risk Mapping: dalam proses ini, berbagai unit bisnis, fungsi organisasi atau alur proses dipetakan dalam type risiko. Latihan ini dapat mengungkapkan area-area yang lemah dan menolong membuat prioritas tindakan manajemen selanjutnya.Risk Indicators: Adalah indikator risiko adalah statistik dan atau metrik, seringkali berhubungan dengan finansial, yang dapat menyediakan pengertian tentang posisi risiko bank. Indikator-indikator ini cenderung dikaji berkala (mungkin bulanan atau kuartalan) untuk mengingatkan bank pada perubahan indikasi yang menjadi perhatian risiko. Indikator-indikator ini mungkin termasuk jumlah kegagalan perdagangan, tingkat perputaran karyawan dan frekwensi dan/atau dampak kesalahan dan kelalaian.

Sumber

Pendekatan dalam menghitung beban modal

Nama : Okto Prasetiyo I.
Npm : 25110268
Kelas : ²Kbo1

Pendekatan indikator dasar (basic indicator approach, BIA) atau pendekatan dasar adalah suatu rangkaian teknik pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturankecukupan modal Basel II untuk lembaga perbankan. Basel II mengharuskan semua lembaga perbankan untuk menyisihkan sebagianmodal bagi risiko operasional. Metode BIA relatif lebih sederhana dibandingkan alternatif pendekatan lain (pendekatan standar danpendekatan pengukuran lanjut) dan telah direkomendasikan bagi bank yang tak memiliki operasi internasional vital.

Berdasarkan Basel, bank yang menggunakan pendekatan ini harus mencadangkan modal untuk risiko operasional setara dengan rerata suatu persentase tetap pendapatan kotor tahunan selama tiga tahun terakhir. Pendapatan kotor negatif atau nol harus dikecualikan baik dari pembilangmaupun penyebut sewaktu menghitung rerata tersebut.

Pendekatan Standart

Dalam Basel II, pendekatan standar adalah kumpulan teknik pengukuran risiko bagi lembaga perbankan. Istilah ini dapat dipergunakan dalam konteks risiko kredit maupun risiko operasional.

Pada pengukuran risiko kredit, pendekatan standar dilakukan dengan menggunakan lembaga pemeringkat kredit eksternal untuk mengkuantifikasikan kecukupan modal. Pada kebanyakan negara, metode ini merupakan satu-satunya metode yang disetujui pada tahap awal implementasi Basel II. Metode lainnya adalah dengan menggunakan sistem peringkat internal Foundation IRBdan Advanced IRB.

Untuk risiko operasional, aktivitas bank dibagi menjadi delapan lini bisnis: keuangan perusahaan, perdagangan dan penjualan, perbankan komersial, pembayaran dan penyelesaian, jasa agen, pengelolaan aset, serta pialang ritel. Modal untuk risiko operasional dari masing-masing lini tersebut adalah persentase pendapatan kotor bank dari lini bisnis tersebut.

Pendekatan Pengukuran Lanjut

Pendekatan pengukuran lanjut (advanced measurement approach, AMA) adalah suatu kumpulan teknik pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturan kecukupan modal Basel II untuklembaga perbankan. Pendekatan ini mengizinkan bank untuk mengembangkan sendiri model empiris mereka untuk mengkuantifikasikan kebutuhan modal untuk risiko operasional, dengan persetujuan dari regulator lokal.

Menurut Basel, untuk layak menggunakan AMA, suatu bank harus memenuhi persyaratan minimum berikut:

· Dewan direksi dan manajemen senior, jika diperlukan, terlibat aktif dalam pemantauan pelaksanaan kerangka manajemen risiko operasional,

· Memiliki sistem manajemen risiko operasional yang memiliki konsep yang baik dan diimplementasikan dengan integritas, serta

· Memiliki sumber daya yang cukup untuk penggunaan pendekatan tersebut pada lini bisnis utamanya, serta pada wilayah-wilayah pengendalian dan audit.

Sumber

Banking risk assesment

Nama : Okto Prasetiyo I.
Npm : 25110268
Kelas : ²Kbo1

· Manajemen resiko dan risk assessment

Resiko kredit (Credit risk) adalah merupakan suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya

· Resiko pemberi pinjaman atas konsumen

Kebanyakan pemberi pinjaman menggunakan cara penilaian kelayakan kredit mereka masing-masing guna membuat peringkat risiko konsumen lalu kemudian mengaplikasikannya terhadap strategi bisnis mereka. Dengan produk-produk seperti pinjaman pribadi tanpa jaminan atau kredit pemilikan rumah, kreditur akan mengenakan suku bunga yang tinggi terhadap konsumen yang berisiko tinggi dan sebaliknya. Pada pinjaman berulang seperti pada kartu kredit dan overdraft, risiko ini dikontrol dengan cara penetapan batasan kredit yang seksama. Beberapa produk mensyaratkan adanya jaminan yang biasanya dalam bentuk properti

· Resiko pemberi pinjaman atas bisnis

Debitur akan menawarkan biaya / keuntungan dari suatu pinjaman berdasarkan dari risiko dan suku bunga yang dikenakan, namun suku bunga ini bukan hanya satu-satunya metode kompensasi untuk risiko yang dihadapi. Perlindungan tambahan dalam bentuk pembatasan sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh pemberi pinjaman (kreditur) atas peminjam (debitur) yaitu misalnya dalam bentuk:

- Pembatasan terhadap debitur atas tindakan-tindakan yang dapat memengaruhi keuangan debitur misalnya melakukan pembelian kembali saham, melakukan pembayaran deviden, atau melakukan peminjaman baru
- Kewenangan untuk melakukan pengawasan atas utang dengan cara mensyaratkan adanya audit dan laporan keuangan bulanan
- Hak kepada kreditur untuk meminta pelunasan seketika atas utang yang diberikannya apabila terjadi suatu peristiwa khusus ataupun apabila rasio keuangtan seperti utang / ekuiti menurun
Saat ini terdapat inovasi untuk melindungi kreditur dan pemegang obligasi terhadap risiko gagal bayar yaitu dalam bentuk kredit derivatif yang dikenal dengan istilah credit default swap. Dengan kontrak keuangan ini maka perusahaan dimungkinkan untuk membeli suatu perlindungan (proteksi) terhadap risiko gagal bayar dari pihak ketiga selaku penjual perlindungan. Penjual perlindungan ini memperoleh imbal jasa secara periodik sebagai bentuk kompensasi atas risiko yang diambil alih olehnya yaitu dalam bentuk kesepakatan untuk membeli tagihan tersebut apabila terjadi gagal bayar

· Resiko yang dihadapi oleh bisnis

Perusahaan menghadapi "risiko kredit" dalam hal misalnya perusahaan tidak menerima "pembayaran dimuka" secara tunai untuk produk atau jasa yang dijualnya. Dengan melakukan penyerahan barang atau jasa di depan dan menagih pembayaran kelak maka perusahaan menanggung suatu risiko selama tenggang waktu penyerahan barang atau jasa dengan waktu pembayaran
Beberapa perusahaan memiliki departemen risiko kredit yang bertugas untuk menilai kesehatan finansial dari konsumennya guna memutuskan pemberian kredit lebih lanjut atau tidak. Dalam hal ini dapat juga digunakan jasa pihak ketiga yaitu peruisahaan yang menyediakan jasa dibidang penilaian kredit dengan memberikan peringkat kredit seperti misalnya Moody's, Standard & Poor's, Fitch Ratings dan lainnya yang menyediakan informasi berbayar
Risiko kredit ini tidak dengan sungguh-sungguh dikelola oleh perusahaan kecil yang hanya memiliki 1 atau 2 konsumen saja, sehingga perusahaan ini sangat rentan terhadap masalah gagal bayar atau keterlambatan pembayaran oleh konsumennya

· Resiko yang dihadapi individu

Konsumen dapat menemui risiko kredit dalam bentuk langsung misalnya sebagai deposan di bank atau sebagai debitur. Mereka dapat juga menghadapi risiko kredit sewaktu melakukan transaksi dagang dengan cara penyerahan uang muka kepada mitra pengimbang misalnya untuk melakukan pembelian rumah atau penyewaan rumah. Karyawan dari suatu perusahaan juga amat tergantung pada kemampuan perusahaan dalam melakukan pembayaran gaji juga termasuk yang menghadapi risiko kredit dalam stausnya sebagai karyawan

Pada beberapa kasus, pemerintah menyadari bahwa kemampuan para individu ini untuk melakukan evaluasi atas risiko kredit sangat terbatas dan risiko ini dapat mengurangi efisiensi ekonomi sehingga pemerintah melakukan berbagai mekanisme dan langkah hukum guna melindungi konsumen terhadap risiko ini. Deposito bank pada beberapa negara dijamin dengan asuransi (hinga batasan nilai tertentu) untuk deposito individu / perorangan, yang secara efektif akan mengurangi risiko kredit mereka terhadap bank dan meningkatkan kepercayaan mereka menggunakan jasa perbankan

Sumber

Regulasi PILAR Basel ; PILAR 2 dan PILAR 3

Nama : Okto Prasetiyo I.
Npm : 25110268
Kelas : ²Kbo1

Pilar 2 dan pilar 3

Pilar 2 – Supervisory Review


Pilar 2 bertujuan untk menformalkan praktik yang sudah dilakukan oleh banyak regulator, dan sangat mirip dengan pendekatan risk based supervision yang dilakukan oleh Federal Reserve Board (USA), dan the Financial Services Authority (UK). Supervisory review didesain untuk memberi perhatian pada setiap persyaratan modal yang melebihi tingkat minimum yang dihitung berdasarkan Pilar 1 dan tindakan dini yang diperlukan untuk mengatasi risiko yang baru muncul.

Supervisory review merupakan hal yang penting untuk memastikan kepatuhan atas persyaratan modal minimum dan untuk mendorong bank mengembangkan serta menggunakan teknik manajemen risiko yang terbaik. Pilar 2 menetapkan prinsip-prinsip dari proses supervisory review yang harus digunakan untuk supervisor dalam melakukan evaluasi kecukupan modal bank.

Pilar 2 juga membahas tiga area utama di luar cakupan Pilar 1, yaitu:
· Risiko yang tidak sepenuhnya dibahas dalam Pilar 1 (misal, risiko konsentrasi kredit);
· Risiko yang sama sekali tidak dibahas dalam Pilar 1 (misal, risiko suku bunga dalam banking book);
· Faktor-faktor eksternal terhadap bank (antara lain pengaruh siklus bisnis).
Proses Assessment Modal

Assessment modal adalah proses yang berkelanjutan dan merupakan bagian integral dari aktivitas pengelolaan bisnis bank.
Proses ini tidak hanya mengevaluasi modal saat ini, tetapi juga melakukan estimasi modal di masa depan. Manajemen bank akan menggunakan estimasi modal pada setiap lini bisnisnya untuk menetapkan modal bank keseluruhan. Selain itu, manajemen bank juga akan memonitor modal saat ini (actual0 terhadap target, sebagai bagian dari pengawasan operasional bank.
Dewan direksi dan manajemen senior bank memiliki tanggung jawab untuk memastikan kecukupan modal termasuk yang tidak tercakup dalam Pilar 1. Manajemen bank bertanggung jawab mengembangkan proses assessment modal, di mana proses tersebut mengevaluasi risiko dan sistem pengendalian risiko di seluruh bagian bank.Mekanisme untuk Memastikan Kualitas Proses Assessment Modal
Kualitas dari proses assessment modal akan dievaluasi oleh supervisor. Evaluasi ini, dikombinasikan dengan faktor-faktor lainnya, akan menjadi dasar penetapan rasio modal bank.

Jika proses tersebut dianggap tidak berkualitas, maka rasio modal akan ditetapkan lebih tinggi. Rasio modal yang lebih tinggi akan mengurangi tingkat aktivitas bisnis, dan akan mengakibatkan turunnya laba bank. Akibatnya, bank akan berusaha mengembangkan dan menjaga proses assessment modal yang berkualitas tinggi (artinya, mekanisme ini memiliki insentif komersial dan juga prudensial). Mekanisme tersebut adalah faktor kunci dalam proses supervisory review, karena hal ini memastikan bahwa proses pemenuhan regulasi adalah bagian integral dari pengelolaan bank.
Namun perlu dicatat, bahwa kenaikan modal bukan merupakan subtitusi untuk memperbaiki ketidakcukupan atua kegagalan proses assessment. Meskipun supervisor dapat menetapkan rasio modal yang lebih tinggi mereka juga dapat menggunakan cara perbaikan lain yaitu:
· Menetapkan target untuk perbaikan struktur manajemen risiko;
· Memperkenalkan prosedur internal yang lebih ketat;
· Memperbaiki kualitas karyawan melalui training dan rekrutmen;Dalam kasus yang ekstrem, supervisor dapat mengurangi tingkat risiko atau aktivitas bisnis, sampai permasalahan diselesaikan atau dapat dikendalikan. Misalkan, supervisor dapat memaksa bank untuk keluar dari pasar tertentu sampai situasi dapat diatasi.
BCBS melihat proses supervisory review sebagai dialog aktif antara bank dengan supervisor. Dengan demikian, permasalahan yang timbul dapat diidentifikasi dan dapat ditindak lanjuti dengan cepat untuk memulihkan posisi modal bank sampai pada tingkat yang memuaskan.

Empat Prinsip Penting Pengawasan
BCBS menetapkan 25 prinsip utama pengawasan dalam “Core Principles for Effective Banking Supervision”, yang dikeluarkan pada September 1997. Pilar 2 mengidentifikasikan empat (4) prinsip penting supervisory review sebagai pelengkap 25 prinsip utama. Prinsip-prinsip utama (25 prinsip) meliputi 7 hal sebagai berikut:
· Prakondisi untuk pengawasan perbankan yang efektif,
· Izin dan struktur,
· Peraturan yang prudent,
· Metode Pengawasan perbankan yang berkelanjutan,
· Persyaratan informasi,
· Kekuasaan formal (formal powers)
· Perbankan antarnegara (cross-border banking).

Prinsip 1: Bank harus memiliki proses untuk menilai kecukupan modal secara keseluruhan dalam hubungannya dengan profil risiko dan strategi untuk menjaga tingkat modal. Manajemen bank memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa bank memiliki modal yang cukup untuk memenuhi kewajibannya sekarang dan masa yang akan datang. Target modal harus ditetapkan dengan integritas dan harus konsisten dengan profil risiko dan situasinya. Target harus menjadi bagian integral dari rencana strategis bank dan harus mencakup stress testing.
Basel II memberikan gambaran lima ciri khas dari suatu proses penilaian modal yang mendalam, yaitu:
1. Pengawasan dewan dan manajemen senior,
2. Assessment modal yang baik,
3. Assessment risiko yang komprenhensif,
4. Monitoring dan pelaporan,
5. Review dan kontrol internal.

Prinsip 2: Pengawas (supervisor) harus melakukan review dan mengevaluasi bank dalam melakukan assessment dan strategi kecukupan modal bank, serta mengevaluasi kemampuan bank memonitor dan memastikan kepatuhan mereka terhadap rasio modal. Pengawas harus melakukan tindakan pengawasan yang tepat jika tidak puas dengan hasil dari proses tersebut. Proses supervisory review secara berkala harus:
· Memeriksa perhitungan eksposur risiko dna transaksi risiko tersebut ke dalam modal yang dipersyaratkan;
· Fokus pada kualitas dari proses dan kualitas dari kontrol internal atas proses tersebut;
· Memeriksa framework dari assessment model untuk mengidentifikasi setiap kelemahan atau kekurangan;
· Tidak memberikan rekomendasi terhadap struktur dari framework karena ini adalah tugas dari manajemen bank.
Proses review dapat mencakup kombinasi dari beberapa metode pengumpulan informasi berikut:
· On-site visits (kunjungan ke bank)
· Off-site review (review tanpa kunjungan ke bank)
· Pertemuan dengan manajemen bank
· Melakukan review perkerjaan yang relavan yang dilakukan oleh auditor eksternal
· Monitoring atas laporan rutin

Prinsip 3: Pengawas hars meminta bank untuk beroperasi di atas rasio modal minimum dan harus memiliki kemampuan untuk meminta bank memiliki modal di atas minimum.

Prinsip 4: Pengawas harus melakukan intervensi dini untuk mencegah modal menurun di bawah tingkat minimum yang dipersyaratkan dan harus meminta tindakan pemulihan yang segera apabila modal tidak dijaga atau dipulihkan. Jika bank gagal untuk menjaga modal yang dipersyaratkan, pengawas dapat menggunakan wewenangnya untuk memperbaiki keadaan. Pengawas dapat meminta peningkatan modal bank sebagai ukuran jangka pendek sambil menunggu permasalahan diatasi. Peningkatan modal akan dibatalkan jika pengawas merasa puas terhadap bank yang telah mampu mengatasi permasalahannya.

Pilar 3 – Disclosure (Pengungkapan)


Pilar 3 adalah pilar disiplin pasar (market discipline). Disiplin pasar, menurut BIS (The Book for International Settlements), adalah mekanisme governance baik internal maupun eksternal dalam perekonomian pasar bebas di mana terjadi kekosongan intervensi pemerintah secara langsung.
Pilar 3:
· Mencaku apa saja yang akan dipersyaratkan dalam pengungkapan bank kepada publik;
· Didesain untuk membantu pemegang saham dan analis;
· Mengarahkan ke perbaikan transparansi pada isu-isu portofolio aset bank dan profil risiko bank.Sifat Disclosure
Disclosure adalah penyebaran informasi yang material kepada masyarakat luas untuk mengevaluasi bisnis perusahaan. Pada umumnya disclosure dipandang penting karena akan memberikan informasi yang relevan kepada investor maupun calon investor mengenai kinerja perusahaan, baik saat ini maupun di masa depan. Oleh karena itu, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal harus memenuhi persyaratan disclosure yang lebih berat dibandingkan dengan perusahaan yagn dimiliki perorangan.
Pada tahun-tahun terakhir ini, disclosure semakin dipandang sebagai mekanisme penting untuk menyampaikan atau mewujudkan isu-isu kebijakan publik, seperti:
· Melakukan perbaikan corporate governance sebagai rekasi atas kasus skandal enron & Worldcom yang terjadi di Amerika Seriakt dan Parmalat di Italia
· Memperbaiki transparansi dari kebijakan perusahaan yang memberikan dampak kepada kebijakan publik seperti isu-isu kesenjangan sosial, keberagaman ras, lingkungan, dan isu konservasi.

Laporan Keuangan
Pada umumnya, perusahaan (baik perusahaan publik maupun keluarga) diminta untuk menerbitkan laporan keuangan (misalnya laporan rugi laba, neraca, laporan pajak). Laporan keuangan tersebut harus ditandatangani oleh auditor eksternal dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi nasional atau jika dimungkinkan, sesuai International Accounting Standard.

Persyaratan Otoritas Pasar Modal
Bagi perusahaan yang telah tercatat di bursa, mereka harus mematuhi keterbukaan tersebut sesuai ketentuan pasar modal yang berlaku. Ketentuan listing mengharuskan publikasi atas laporan yang beragam dikenal sebagai fillings. Otoritas pasar modal adalah lembaga yang sangat memperhatikan kepentingan pemegang saham, dan pada umumnya fillings memuat informasi keuangan yang sangat detail. Otoritas pasar modal tidak hanya membuat ketentuan sendiri, tetapi juga bertanggung jawab untuk melaksanakan keterbukaan yang dipersyaratkan oleh regulator lainnya.

Perundang-Undangan
Contoh yang paling baik adalah diundangkannya US Sarbanes-Oxley Act 2002 yang memperkenalkan persyaratan wajib untuk akuntabilitas perusahaan. Salah satu persyaratan adalah chief executive dan chief financial officer dari perusahaan yang listing di pasar modal US harus menyatakan kebenaran atas laporan keuangannya secara terbuka kepada publik. Bab 404 dari UU tersebut juga mensyaratkan keterbukaan atas dokumentasi, pengujian dan verifikasi dari auditor eksternal atas kualitas dari kontrol internal perusahaan terhadap laporan keuangannya.
UU ini dilaksanakan melalui SEC (the Securities and Exchange Commission), otoritas pasar modal Amerika Serikat.

Sumber

Regulasi PILAR Basel ; PILAR 1

Nama : Okto Prasetiyo I.
Npm : 25110268
Kelas : ²Kbo1

Pilar 1 – Minimum capital requirements. Dalam Pilar I bank diminta untuk menghitung kebutuhan modal risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional. Ketentuan mengenai ‘traded market risk’ tidak mengalami perubahan seperti yang tercantum pada Basel Committee’s 1996 Market Risk Amandment to the Basel I Capital Accord. Risiko bunga pada ‘banking book’ belum tercakup pada Pilar I.

Pilar 2 – Supervisory Review. Proses supervisory review dalam pilar 2 dimaksudkan untuk mengoptimalkan praktek yang telah ada. Konsep ini secara implisit sudah ada pada Basel I dimaksudkan untuk menetapkan standar minimum yang dapat disesuaikan sesuai dengan kondisi bank. Pilar 2 merupakan pendekatan supervisory review yang menyerupai pendekatan pengawasan bank berbasis risiko yang digunakan oleh Federal Reserve Board di AS dan Financial Autority Services Authority di Inggris. Fokus dari supervisory review adalah:

· Menjamin tersedianya modal diatas yang ditetapkan dalam Pliar I.

· Melakukan intervensi secara dini jika diperlukan untuk mengantisipasi terhadap risiko yang akan muncul, sehingga modal tidak turun dibawah yang disyaratkan.

Pilar 2 juga meliputi evaluasi risiko suku bunga jenis tertentu dalam banking booksebagaimana dokumen Basel Committee “Principles for the management and supervision of interest rate risk” yang menjelaskan cara mengelola tingkat suku bunga di dalam banking book.

Pilar 3 – Disclosure. Pilar 3 adalah pilar disiplin pasar. Basel mendefinisikan disiplin pasar sebagai mekanisme governance internal dan eksternal dalam perekonomian pasar uang tanpa adanya intervensi pemerintah secara langsung. Pilar 3 mencakup hal-hal yang akan dibutuhkan dalam hal pengungkapan publik oleh bank. Pilar 3 dirancang untuk membantu pemegang saham bank dan analis pasar dan selanjutnya akan meningkatkan transaparansi atas permasalahan seperti portofolio aktiva bank dan profil risikonya.

Basel I hanya mencakup Pilar I, namun dalam praktek, Pilar 2 dan Pilar 3 akan tetap ada pada semua negara, meskipun pendekatan yang digunakan untuk kedua Pilar tersebut dan aplikasinya mungkin sangat beragam.

Cakupan Risiko Basel II

Dalam pendekatan tiga pilar, Komite Basel mengusulkan untuk memperluas cakupan risiko di luar risiko kredit dan traded market risk sehingga mencakup lebih banyak jenis risiko yangdihadapi oleh bank. Komite Basel memfokuskan Pilar I pada risiko kredit dan risiko operasional, sementara risiko pasar tidak mengalami perubahan seperti dalam 1996 Market Risk Amendment. Dalam Pendekatan Pilar I juga menandai untuk pertama kalinya penggunaan pendekatan kuantitatif untuk risiko operasional. Selain hal tersebut, terdapat berbagai risiko lain yang ingin dicakup dalam Pilar 2 dan Pilar 3, yang dikenal dengan ‘other risks’.

Sumber

Implementasi Basel

Nama : Okto Prasetiyo I.
Npm : 25110268
Kelas : ²Kbo1

Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara. Basel II adalah yang kedua dari Basel Accord, (sekarang diperpanjang dan efektif digantikan oleh Basel III ), yang rekomendasi mengenai hukum perbankan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Komite Basel tentang Pengawasan Perbankan.

Basel II, awalnya diterbitkan pada bulan Juni 2004, dimaksudkan untuk menciptakan sebuah standar internasional untuk regulator perbankan untuk mengontrol berapa banyak kebutuhan modal bank-bank untuk menyisihkan untuk menjaga terhadap jenis bank risiko keuangan dan operasional (dan ekonomi keseluruhan) wajah. Salah satu fokus adalah untuk menjaga konsistensi peraturan yang cukup sehingga hal ini tidak menjadi sumber ketidaksetaraan antara bank-bank internasional yang kompetitif aktif. Advokat Basel II percaya bahwa standar internasional seperti dapat membantu melindungi sistem keuangan internasional dari jenis masalah yang mungkin timbul harus sebuah bank besar atau serangkaian keruntuhan bank. Dalam teori, Basel II berupaya mencapai hal ini dengan mendirikan risiko dan persyaratan pengelolaan modal yang dirancang untuk memastikan bahwa bank memiliki modal yang memadai untuk resiko bank menghadapkan dirinya untuk melalui pinjaman dan praktik investasi. Secara umum, aturan-aturan ini berarti bahwa risiko lebih besar untuk bank mana yang terkena, semakin besar jumlah modal bank perlu terus untuk menjaga nya solvabilitas dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Secara politis, hal itu sulit untuk menerapkan Basel II di lingkungan peraturan sebelum 2008, dan kemajuan pada umumnya lambat sampai krisis perbankan besar tahun itu disebabkan sebagian besar oleh credit default swap, hipotek keamanan berbasis pasar dan serupa derivatif . Sebagai Basel III dirundingkan, ini adalah puncak pikiran, dan karenanya jauh lebih ketat standar yang dimaksud, dan dengan cepat diadopsi di beberapa negara kunci termasuk Amerika Serikat.

Basel II menggunakan "tiga pilar" konsep :

1) Persyaratan modal minimum (menghadapi resiko),

2) Supervisory review dan

3) Disiplin pasar

Kesepakatan Basel I hanya berurusan dengan bagian-bagian dari masing-masing pilar. Sebagai contoh : sehubungan dengan pilar Basel II pertama, hanya satu risiko, risiko kredit, dihadapi dengan cara yang sederhana sambil risiko pasar adalah renungan; risiko operasional tidak ditangani dengan sama sekali.

Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.

Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko.

sumber